Sugeng Rawuh

Home Refinance Loanpamartajawa ayo-ayo samya udhu "wiji" klungsu, dhudhah-dhudhah budaya jawa, jajag-jajag kedhunge basa, pawitan suku jaja ateken janggut, pawadan sregep tinon lan takon, cukla-cukli mbremana sandhi, pancadan sumarah manembah mring kersane Hyang Widhi Wasesa. dimen lestari jiwa jawi wani anjawani anjarwani...

Readmore

Sugeng Rawuh Sanggar Sastra Jawa, Ketoprak, Wayang, Pranatacara, paes lan tari, Yudhistira 5, Banguntapan, Bantul, Ngayogyakarta....

Readmore

Urip Sejati, Sejati Urip Urip iku rasa, rasa iku urip, urip tanpa rasa iku reca. wira wiri ora rumangsa wirang karana wus ilang rasane den samudana ora krasa, direrepa ora rumangsa, disendhu ora digugu, dipenggak nyangkal tenggak, digatra sansaya ndadra Atine tan tanggap, esmune sepi ing sasmita, meguguk mangutha waton, mbondhan tanpa ratu watake pekok tan kena ginepok alok, sikepe mbedhug boten kinukup ing gludhug

Readmore

Selasa, 24 Maret 2009

Sekilas Profil Seniman Lawak:
Bambang (Rabies) Suprastowo


Bambang Suprastowo seniman serba bias yang dilahirkan di Yogyakarta, 3 Juli 1970, pada akhirnya lebih kondang dengan nama panggung Bambang Rabies. Kesenimanan Bambang Rabies ini memang tidak jatuh dari langit, namun alur aliran darah seni sudah mengalir sejak dari nenek moyangnya. Bahkan jiwa seni tersebut diasah sejak sejak kecil, pada Tahun 1970-1980 sudah aktif terilbat dalam pentas keliling ketoprak tobong PS. BAYU milik keluarga trah GITO-GATI Pajangan, Sleman, Yogyakarta

Sebagaimana diketahui Bambang Rabies adalah putra dari seniman dhalang- dan pemain ketoprak GITO, pasangan kembar dari GATI yang juga sama-sama terjun menggeluti dunia seni peran panggung, kemudian lebih dikenal sebagai seniman GITO-GATI.


Awalnya Bambang Rabies sebenarnya bercita-cita untuk menjadi dalang. Namun, ia menyadari vokalnya (suluk dan kandha) tidak memadai, oleh ayahnya dalang terkenal Sugito, ia disarankan untuk jadi seorang pelawak. Dan akhirnya saran sang ayah ini menjadi berkah, Bambang Rabies kini menjadi pelawak kondang di Yogyakarta bahkan sudah menasional, sehingga dalam bulan-bulan baik ia biasa menolak job.

Bagi, dia menjadi seorang pelawak dituntut untuk selalu belajar, menambah wawasan, dan peka terhadap fenomena kehidupan. Untuk menambah pengetahuannya itu, ia banyak belajar dari kakak-kakak seniornya, seperti, Marwoto, Daryadi, dan juga dari ayahnya sendiri (Gito), juga pamannya Gati, Bambang selalu belajar dari kehidupan, dari lingkungan sekitar, juga dari pergaulan sehari-hari. Pada awala kariernya Rabies naik berkat berkat kerja kerasnya serta modal mental sebagai juara I Lomba Lawak Tingkat Jateng-DIY.

Penampilanny selalu segar dengan ciri kas gaya cengengesan serta gerak acting yang spontan tidak dibuat-buat. Jadi selain dari lontaran kata-kata yang lucu, daya tarik Rabies kuat dari segi mimik wajah. gerak serta polah tingkah yang luwes, karena Bambang Rabies juga sekaligus seorang penari yang handal. Dari sekian penampilan panggung yang sangat berkesan baru-baru ini adalah, saat tampil dihadapan Ibu Megawati Soekarno Putri, di Jakarta. Dalam waktu dekat ini menurut rencana Bambang akan tampil di panggung kampanye salah satu partai politik di Kulon Progo, untuk mermaikan acara dan memberi hiburan yang segar

Kontak person Bambang Rabies : ada pada redasksi

Senin, 23 Maret 2009



Wayangan Ing Sanggar Bodronoyo


Malem minggu wingi ( 21/3/09), Sanggar Seni Bodronoyo, Girimulyo Kulon Progo ngadani pasugatan ringgit wacucal kang mujudake adicara ajeg saben wulan sepisan. Wayangan bengi iku ginelar runtut kaya adad saben kawiwitan tabuh wolu bengi binuka kanthi uyon-uyon gendhing pambuka lan soran, dening niyaga Laras Madya Wirama.


Pepak andher pra kadang sanak waruju sakiwa tengen sanggar kang rawuh amirsani pasugatan, jarene kanggo nyapih kahanan lan golek pangarem-arem lejaring ati. Pancen gelaring seni wayang ing sanggar Bodronoyo mono kaajab bisa migunani tumrap sedulur tangga teparo ujube kanggo asung wewengan palipur sokur bisa nut ilining sedya melu angleluri kabudayan adiluhung


Wayangan pendhak sasi sepisan sanggar Bodronoyo iku uga dadi ajang gladhen siswa-siswa pamulangan dhalang Habiranda. Kraton Ngayogyakarta. Para siswa pamulangan Habiranda rumangsa antuk sembulih kang becik, karana bisa nggladhi ngelmu lan kaprigelan ing papan iku, karana ora akeh papan kang sinedya cumawis kanggo ngasah kaprigelan dhalang. Mula saka iku sanggar Bodronoyo asung papan sak ubarape gangsa lan wayang kanggo gladhen dhalang. Nanging wus ana wewaler baku kang sinerat menawa gelaring pasugatan ringgit wacucal mau kudu tansah ngugemi pakem lan ora nalisir saka wewaton wayangan gagrag ngayojakarta. Saupama ana guyon lan garap gendhing kudu winates, werdine murih anggone nggelar lakon bisa tatas, antawecana lan sastra sansaya kaasah titis terwaca.


Wondene ingkang ngasta minangka dhalang bengi iku, panjenengane Ir. Suryono. M.Phil, salah sawijining dosen Fakultas Teknik ing pawiyatan luhur UGM. Mungguh lakon kang digelar yaiku Samba Sebit. Miturut pamawas sing dak runggu, Ir Suryana wus lumayan ing babagan sabet, sanggit lan sastra, nanging isih kudu sinau kanthi temen bab suluk. Bengi iku Ir. Suryono nampa sampur minangka dhalang, njangkepi urutan kang kaping 16 periode pentas tahun 2008- 2009. Gunggunge dhalang kang kagatra urut kacang ana 22, tegese isih ana 6 dhalang maneh kanggo mungkasi periode pentas tahun 2008-2009. Mengkono sawetara khabar saka Sanggar Bodronoyo. Nuwun

Minggu, 01 Maret 2009

CUPLIKAN SEJARAH KULON PROGO

Wilayah Kulon Progo… sebelum menjadi Kabupaten Kulon Progo pada Tangga 15 Oktober 1951, terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo yang berada di bagian utara sebagai bagian wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta di bagian selatan yang merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pakualaman.

WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN KULON PROGO) :Wilayah Utara.

Sebelum Perang Diponegoro di daerah Naragung, termasuk didalamnya wilayah Kulon Progo, merupakan wilayah kosong tanpa kekuasaan atau belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Dalem yang bertempat tinggal di Ibukota negara Kutogoro. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo (kasultanan) terbentuk empat kabupaten kecil yaitu:

1. Kabupaten Pengasih, tahun 1831
2. Kabupaten Sentolo, tahun 1831
3. Kabupaten Nanggulan, tahun 1851
4. Kabupaten Kalibawang, tahun 1855
Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung atau Riyo.

Menurut buku ‘Prodjo Kejawen’ pada tahun 1912, 4 Kabupaten Kecil yakni Kabupaten Pengasih, Sentolo, Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto.

Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan (distrik) dengan delapan Kapanewon (onder distrik), sementara itu ibukota kabupaten dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih dan Kawedanan Nanggulan, yang masing-masing membawahi 4 Kapanewonan (onder distrik). Kawedanan Pengasih meliputi kepanewonan Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Sedangkan Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewonan Watumurah(Girimulyo ), Kalibawang dan Samigaluh. Adapaun yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut:
1. RT. Poerbowinoto
2. KRT. Notoprajarto
3. KRT. Harjodiningrat
4. KRT. Djojodiningrat
5. KRT. Pringgodiningrat
6. KRT. Setjodiningrat
7. KRT. Poerwoningrat

WILAYAH KADIPATEN PAKUALAMAN (KABUPATEN ADIKARTA) : Wilayah Selatan

Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan Kejawen yang bernama Kabupaten Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta. Menurut buku ‘Vorstenlanden’ riwayat Kabupaten Adikarta sebagai berikut : disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ariyo Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo, sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama daerah sebelah utara Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh (Pelenggah) itu letaknya berpencaran, maka Sentana Dalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan penyatuan pelungguh tersebut, maka layaklah menjadi satu daerah kesatuan yang (luasnya) setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot. Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdojo.

Pada mas pemerintahan Bupati kedua, yang dijabat oleh R. Rio Wasadirdjo, KGPAA Paku Alam V memerintahkan agar mengusahakan pengeringan tanah rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang sungguh-sungguh elok, Adi (Linuwih) dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka Paku Alam V selanjutnya berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 dengan ibukota di Bendungan. Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1903 Ibukotanya dipindahkan ke Wates.

Kabupaten Adikarta terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Panjatan dan Brosot.

Adapun yang menjabat Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut:
1. Tumenggung Sosrodigdojo
2. R. Rio Wasadirdjo
3. R.T. Surotani
4. R.M.T. Djayengirawan
5. R.M.T. Notosubroto
6. K.R.M.T. Suryaningrat
7. Mr. K.R.T. Brotodiningrat
8. K.R.T. Suryaningrat (Sungkono)

KESATUAN WILAYAH DENGAN JAWA BESAR/INDONESIA: PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO DENGAN KABUPATEN ADIKARTA

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengu Buwono IX dan Paku Alam VIII Pada 5 September 1945 mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa Wilayah Kekeuasaan Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan Daerah Istimewa sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo (wilayah uatara) dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto( wilayah selatan).

Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan pada tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarta dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Selanjutnya tanggal tersebut secara yuridis formal ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo, yakni 15 Oktober 1951, atau saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Selanjutnya pada Tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi pemerintahan baru, mulai dilaksanakan, dengan pusat pemerintahan di Wates.

Nama-nama yang menjabat Bupati Kulon Progo sejak tahun 1951 sampai sekarang adalah sbb:

1. KRT. Suryoningrat (1951 - 1959)
2. R. Prodjo Suparno (1959-1962)
3. KRT. Kertodiningrat (1963-1969)
4. R. Soetedjo (1969-1975)
5. R. Soeparno (1975-1980)
6. Drs. KRT. Wijoyo Hadiningrat ( 1981-1991)
7. Drs, H, Suratidjo (1991-2001)
8. H. Toyo Santosa Dipo (PDIP), Wakil Bupati H. Anwar Hamid (PKB) -
2001-2006
9. H. Toyo Santosa Dipo (PDIP) dan Wakil Drs. H. Mulyono (PAN) -2006-2011

Sumber : DPRD Kulon Progo, (editing KJG 09)